0
Oleh: Ahmad Zarkasih, Lc

Dalam kitabnya, Raudhoh Al-Nadzir wa Junnah Al-Munadzir, di bab Taqlid, Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi (620H) menyebutkan Ijma’ (Konsensus) para sahabat bahwa seorang awam boleh taqlid (mengikuti) mujtahid atau madzhab dalam masalah-masalah syar’i yang furu’i (cabang/fiqih), bahkan bukan Cuma boleh, tapi wajib Taqlid.

Sama sekali tidak diwajibkan seorang awam untuk mengetahui dalil, cukup bagi seorang awam untuk mengetahui hukum suatu masalah, dan menj

alankan ibadah sesuai hukum yang ia ketahui walau tidak tahu dalil. Dan cukup baginya fatwa ulama yang ia ikuti, atau guru yang ia belajar kepadanya.

فتاوى المجتهدين بالنسبة إلى العوام كالأدلة الشرعية بالنسبة إلى المجتهدين

Fatwa-fatwa ulama mujtahidin bagi orang awam itu ibarat dalil syar’i bagi para mujtahid. (Ibrahim bin Musa as-Syathibi w. 790 H, al-Muwafaqat, h. 5/ 336).

Dan semua fatwa-fatwa ulama mujtahid itu sudah terkumpul dan terformulasikan dalam sebuah istitusi besar yang kita sebut dengan madzhab. Yang mana di dalamnya berisi ribuan bahkan ratusan ribu ulama yang bekerja untuk memudahkan kita sebagai muslim dalam menjalankan syariat ini.

Nah, jadi pertanyaan lagi, kira-kira dari sekian banyak madzhab, mana madzhab yang benar? Jawabannya tidak ada yang tidak benar, semua benar dan tidak ada yang salah. kata Imam Ibnu Qudamah;

لِأَنَّهُ لَيْسَ قَوْلُ بَعْضِهِمْ أَوْلَى مِنَ الْبَعْضِ

“karena pendapat satu tidak lebih baik diantara yang lainnya”,

Begitu kata Imam Ibnu Qudamah! Karena memang kesemuanya itu baik, dan tidak ada yang lebih baik diantara keduanya, maka tidak dibenarkan untuk saling menyalahkan siapa yang mengambil fatwa berbeda dari ulama yang berbeda. Syariat ini memberikan kebebasan untuk memilih kepada siapa kita harus mengikuti.

Penjelasan lebihnya seperti ini:

Tentang madzhab mana yang cocok untuk dianut dan dipelajari, ulasannya saya temukan dari seorang fotografer; Dodi bening. Dia ditanya orang tentang tustel apa yang paling bagus digunakan oleh orang yang ingin memperdalam? Jawabannya semua tustel pasti bagus, tentu dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tapi buat kita di Indonesia ada dua merek yang sangat laris di pasaran dan paling banyak orang beli yaitu Nikon dan Canon. Bukannya yang lain itu jelek tapi yang lain itu kurang lengkap di Indonesia.

Sebagai penduduk Indonesia, pilihan paling efisien adalah salah satu dari keduanya. Terus kalau memang harus salah satu, yang mana yang anda sarankan untuk dibeli? Nikon atau Canon? Apa jawabnya?

Tergantung anda berada di lingkungan yang mana? Kalau rata-rata teman dan kenalan anda pada punya Nikon sebaiknya beli Nikon saja. Sedangkan bila mereka kebanyakan punya Canon yang beli Canon saja. “Kok begitu?” Faktornya karena efisiensi. Bukan karena salah satunya lebih bagus atau lebih jelek. Kita sudah singgung bahwa tidak ada yang tidak bagus, semuanya bagus. Namun ada hal yangmesti diperhatikan lebih jeli.

Bila semua teman dan kenalan sesama penggemar fotografi yang anda kenal pada pakai Nikon maka anda beli Nikon saja. Untungnya sebagai pemula anda bisa tanya banyak kepada mereka dan tidak perlu jadi orang cengok yang tidak punya guru juga tak punya rujukan. Dan kalau perlu anda bisa pinjam lensa dan berbagai asesori lainnya kepada teman yang mereknya sama. Lucu saja kalau semua teman anda pakai Nikon dan anda sendirian punya Canon. Atau sebaliknya. Tidak punya guru juga teman untuk diajakn berdiskusi juga saling pinjam serta saling berbagi atau joinan.

Konteksnya sama seperti bermadzhab. Lucu aja kalau semua orang bermazhab al-Syafi’i terus anda tanpa alasan dan ujug-ujug sendirian beda mazhab misalnya Hambali. Mau belajar ke-hambaliannya sama siapa? Tidak ada gurunya juga tidak ada yang bisa diajak berbagi, serta saling memaklumi.

Yang ada hanya terus setiap hari diomongin orang mulu gara-gara shalat belepotan tahi ayam (dalam madzhab al-hanabilah; kotoran hewan yang boleh dimakan tidak najis), dan juga orang akan merasa aneh bergaul dengan anda; karena anda minumnya air kencing onta.

Apalagi kalau bermazhab al-Hanafiyah sendirian, malah lebih repot lagi. Tidak bisa dibayangkan bagaimana nasib anda jika mencintai seorang wanita, lalu dengan ke-hanafiaan anda langsung saja menikahi tanpa perlu adanay wali atau jugaizin orang tua. Boleh dalam al-Hanafiyah, akan tetapi budaya kita tidak atau belum menerima itu. Makin jadi orang sekeliling anda akan membicarakan anda engan negatif; karena kebiasaan anda meminum wine dengan alasan sedikit dan tidak memabukkan.

Begitu juga jika anda bermadzhab al-Malikiyah. Mungkin orang agak tidak menyukai anda karena anda mengatakan kepada saudara yang melakukan puasa 6 hari syawal sebagai orang yang melaksanakan sesuatu yang dibenci dalam agama (makruh).

Nah lebih terasa sangat asing lagi jika anda bermadzhab al-Zahiriyah. Dalam puasa saja, hampir semua orang di sekitar anda akan anda haramkan karena berbuka puasa tanpa kurma; padahal itu wajib bagi al-Dzahiriy. Lebih lucu lagi, dalam hal thaharah. Bukan hanya non-mahram, bahkan ibu serta anak anda akan jauhi karena khawatir menyentuh yang bisa membatalkan wudhu.

Karenanya, penting untuk menghindari keanehan serta kelucuan yang belum bisa dipahami oleh masyarakat sekitar. Agar beibadah pun menjadi tenang dan tidak terlihat asing. Dan memang itu yang sering didengungkan oleh ulama-ualama fiqih, yang kemudian dimunculkna kaidah fiqih:

الخُرُوْجُ مِنَ الْخِلَافِ أَوْلَى وَأَفْضَلُ

“Keluar dari perbedaan adalah lebih utama dan lebih baik”

Bukankah kita juga menapati cerita tentang sayyidina Ibnu Mas’ud yang berbeda dengan sayyidina Utsman bin Affan. Sahabat Abdullah bin Mas’ud dengan tegas menyatakan bahwa seorang musafir, afdholnya ialah sholat qashar, tidak tamm (sempurna), jika ada musafir yang sholatnya sempurna 4 rokaat, beliau mengatakan itu adalah mukholafatul-aula [مخالفة الأولى] (menyelisih pendapat yang utama).

Akan tetapi dengan rela ia meninggalkan pendapatnya dan ikut sholat sempurna 4 rokaat di belakang Utsman bin Affan yang memandang berbeda dengannya dalam masalah ini. lalu Ibnu Mas’ud ditanya: “kau mengkritik Utsman, tapi kenapa kau mnegikutinya sholat 4 rokaat?”. Ibn Mas’ud menjawab: [الخلاف شر] “berbeda itu buruk!”.

Karena tahu, bahwa jika ia menonjolkan perbedaan itu depan umum yang tidak semuanya paham masalah tersebut, Ibnu Mas’ud memilih untuk tetap mengikuti Utsman walaupun itu menyelisih pandangannya sendiri.

Wallahu a’lam



Sumber: Rumahfiqih

Posting Komentar Blogger

Silahkan gunakan bahasa yang baik dan santun dalam berkomentar. Komentar yang profokatif, kasar atau mengandung unsur SARA akan kami hapus. Terima Kasih

 
Top