0

Oleh : K.H Luthfi Bashori

Pernikahan adalah salah satu ritual suci bagi umat Islam. Di antara syarat sahnya nikah adalah membayar makawin atau mahar kepada istri yang dinikahinya. Pembayaran mahar ini adalah untuk menghalalkan hubungan suami istri. Sekalipun dalam pernikahan yang sah, namun  sebelum sang suami membayar maskawin sesuai kesepakatan, maka istri boleh dan berhak untuk menolak hasrat seksual sang suami.

Sy. Ibnu Abbas RA mengemukakan, sesungguhnya Sy. Ali RA ketika sudah menikah dengan Sy. Fathimah, beliau bermaksud akan mulai bercampur. Namun, Rasulullah SAW melarangnya sebelum ia memberi sesuatu.

“Saya tidak punya apa-apa,” jawab Sy. Ali

Rasulullah SAW bertanya, “ Dimanakah baju besimu untuk berperang?”

Lalu Sy. Ali menyerahkan baju besinya, kemudian mendekatinya Fatimah. (HR. Abu Dawud).

Menyebutkan  jumlah maskawin itu hukumnya sunnah, dan demikian ini yang berlaku di tengah masyarakat dari dulu hingga sekarang.

Sy. Uqbah Ibnu Amir RA mengungkapkan, Nabi Muhammad SAW bertanya kepada seorang laki-laki, “Maukah engkau jika kunikahkan dengan si Fulanah (sebutan buat wanita)?”

“Mau,” jawab laki-laki itu.

Nabi SAW juga bertanya kepada wanita yang dimaksud, “Sukakah engkau jika kunikahkan dengan si Fulan (sebutan buat laki-laki)?”

Wanita itu pun menyetujuinya. lantas Rasulullah SAW sendiri yang menikahkan keduanya. Lalu mereka hidup menjalani kehidupan sebagai suami-istri, padahal si laki-laki tidak menentukan maharnya dan belum memberinya maskawin apapun.

Laki-laki tersebut termasuk orang yang hadir perjanjian Hudaibiyah. Dan setiap orang yang turut hadir di Hudaibiyah memperoleh bagian dari tanah Khaibar. Menjelang meninggal dunia, laki-laki itu berwasiat, “Sungguh Rasulullah SAW telah menikahkan aku dengan Fulanah, namun aku tidak menentukan maharnya, dan belum memberinya suatu pun maskawin. Sekarang aku nyatakan di hadapan kalian, bahwa bagianku dari tanah Khaibar kuberikan kepadanya sebagai ganti dari maskawinnya.”

Lalu wanita itu mengambil tanah yang menjadi bagian suaminya dan menjualnya. (HR. Abu Dawud)

Sedangkan hukum membayar maskawin itu sendiri adalah suatu kewajiban.

Sy. Ibnu Mas’ud RA pernah ditanya soal seorang  laki-laki yang telah menikahi seorang wanita. Laki-laki itu tidak menentukan maskawinnya dan belum mengumpulinya hingga ia meninggal dunia:

“Wanita itu harus memperoleh maskawin yang setara dengan maskawin yang biasa diterima oleh kalangan keluarganya. Tidak boleh kurang, dan tidak boleh lebih. Ia juga berhak memperoleh warisan dari suaminya, dan harus melakukan iddah,” jawab Ibnu Mas’ud.

Sy. Ma’qil Ibnu Sinan Al-Asyja’i berkomentar, “Rasulullah SAW telah memutuskan terhadap Barwa’ binti Wasyiq seperti apa yang telah engkau putuskan itu.”

Sy. Ibnu Mas’ud merasa gembira dengan kesaksian tersebut. (HR. Ash-Habus Sunan).

Imam Syafi’i berpendapat bahwa mahar adalah suatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya. Hal ini bukan berarti bahwa kehormatan seorang perempuan dinilai atau sebanding dengan nilai materi dari mahar yang ia inginkan. Karena fungsi mahar itu adalah untuk menghalalkan seorang istri terhadap suaminya.

Posting Komentar Blogger

Silahkan gunakan bahasa yang baik dan santun dalam berkomentar. Komentar yang profokatif, kasar atau mengandung unsur SARA akan kami hapus. Terima Kasih

 
Top