K.H. Luthfi Bashori
Coba diperhatikan, Nabi Muhammad SAW sekalipun beliau sebagai seorang rasul yang ma’shum (dijamin tidak akan bermaksiat), ternyata beliau SAW masih istiqamah memohon perlindungan kepada Allah karena khawatir kehilangan keimanan.
Sy. Anas RA memberitahukan, bahwa Nabi Muhammad SAW senantiasa memperbanyak ucapan: “Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu.”
Lalu Sy. Anas RA bertanya, “Wahai Rasulullah, aku beriman kepadamu dan ajaran yang engkau bawa. Apakah engkau masih mengkhawatirkan kami (menjadi tidak beriman kembali)?”
Beliau SAW menjawab, “Benar, sesungguhnya hati itu berada di antara dua jari-jari (kekuasaan) Allah SWT. Dia akan membolak-balikkan hati sekehendak-Nya.” (HR. Tirmidzi).
Mencermati doa dan nasehat beliau SAW ini, lantas bagaimana dengan kondisi umat Islam dewasa ini, terlebih dengan kehidupan di akhir jaman seperti sekarang ini?
Maka sudah seharusnya umat Islam lebih banyak memohon penjagaan kepada Allah dari perobahan maupun hilangnya keimanan dari diri mereka.
Sebenarnya, kondisi semacam sekarang ini telah disitir oleh Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya: “Bersegeralah beramal sebelum datangnya rangkaian fitnah yang datang seperti sepenggalan malam yang gelap gulita, seorang laki-laki di waktu pagi dalam keadaan mukmin namun di waktu sorenya telah menjadi telah kafir, dan di waktu sore masih beriman namun keesokan hasinya telah menjadi kafir, karena ia menjual agamanya dengan kesenangan dunia semata.” (HR. Ahmad No. 8493)
Sikap tidak istiqomah dalam menjaga keimanan semacam ini, umumnya disebabkan karena mereka lebih mengutamakan kepentingan atau kemaslahatan duniawiyah daripada memelihara keutuhan keimanan terhadap ajaran agamanya. Orang seperti ini, hakikatnya telah terjerumus ke dalam ideologi materialisme.
Contoh kongkrit, akhir-akhir ini begitu banyak dari kalangan umat Islam yang justru lebih mengagung-agungkan pemimpin kafir sebagai panutan, daripada mencari pemimpin muslim yang shaleh dan taat kepada Allah.
Jargon yang sering mereka kumandangkan antara lain: “Lebih baik pemimpin kafir yang jujur, daripada pemimpin muslim yang korupsi”.
Jargon ini hakikatnya adalah penyesatan dan penipuan berkedok agama, karena ajaran Islam justru memeritahkan: “PILIHLAH PEMIMPIN YANG PALING SHALEH DI ANTARA KALIAN”. Jadi umat Islam dilarang memilih pemimpin yang fasiq (pelaku dosa besar) apalagi pemimpin kafir.
Dari Sy, Ibnu Abbas beliau berkata, bahwa Nabi Muhammad bersabda: “Barangsiapa memilih pemimpin untuk suatu kaum, yang mana di kalangan kaum tersebut ternyata masih ada orang yang lebih (layak dan lebih) diridhai oleh Allah (karena keshalehannya) dari pada pemimpin (yang sudah) dipilihnya itu, maka ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman”. (HR. Hakim)
Dengan demikian, siapapun di kalangan umat Islam, khususnya para penggiat penjaringan suara dukungan pilkada dan yang semisalnya, lantas memberikan dukungannya kepada calon pemimpin kafir musyrik, sesungguhnya keimanan mereka itu sudah di ambang batas yang sangat dikhawatirkan oleh Rasulullah SAW.
Posting Komentar Blogger Facebook
Silahkan gunakan bahasa yang baik dan santun dalam berkomentar. Komentar yang profokatif, kasar atau mengandung unsur SARA akan kami hapus. Terima Kasih