0

Imam Ibnul Jauzi  rahimahullah berkata:

“Ketahuilah, bahwa hamba yang beriman itu, meskipun dirinya sering menaati setan, namun hakikat hatinya itu tidak akan ridha. Perumpamaannya adalah seperti orang yang terjatuh ke dalam kotoran najis, sedangakan di  depannya ada kolam air yang suci.  Maka hakikat hatinya itu bersama air, meskipun dirinya di dalam kotoran najis. Maka hal itulah yang sering menyebabkan dirinya untuk bertobat membersihkan diri dari maksiat. 

Karena asalnya adalah, bahwa Allah SWT itu memperlakukan para hamba menurut keyakinan hati mereka, sebagaimana sabda Nabi SAW, ‘Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentukmu, tetapi Dia melihat kepada hatimu.’

Dalam hadits ini terdapat kesimpulan yang baik, yaitu bahwa orang munafik sekalipun ia  menyebut kalimat tauhid dengan lisan, namun hakikat hatinya itu tidak akan ridha, maka iapun tidak diberi pahala pada Hari Kiamat atas pengakuannya dengan lisannya itu. Demikian pula orang mukmin yang melakukan maksiat sekalipun  terus menerus,  namun jika hatinya  tidak ridha atas perbuatannya, maka ia selalu berharap agar tidak dihukum oleh Allah.” (Ibnul Jauzi).

Dengan demikian, setiap kita melihat ada orang yang secara dhahir benar-benar beriman kepada Allah SWT namun perilakunya masih sering bermaksiat melanggar syariat, maka selain kita harus secara kontinyu untuk mengajaknya agar kembali ke jalan yang lurus, maka sudah seharusnya kita juga mendoakannya agar ia mendapat petunuk dari Allah sehingga ia segera keluar dari lobang kemaksiatannya.

Berbeda jika ada seseorang yang memiliki sifat kemunafikan atau kekafiran yang hatinya benar-benar inkar terhadap syariat Islam, maka sekeras dan segencar apapun usaha yang kita lakukan untuk memberitahu kepadanya tentang hakikat kebenaran syariat Islam,  hanya kemungkinan kecil saja ia akan dapat menerimanya lantas beriman kepada Allah.

Siapa kiranya yang lebih tinggi derajat dan kemualiaannya di banding Rasulullah SAW, namun beliau SAW tetap tidak diberi kuasa oleh Allah untuk mengislamkan paman kandungnya, yaitu Abu Lahab, karena hati Abu Lahab dipenuhi oleh kekafiran dan penolakan terhadap syariat Islam yang diturunkan oleh Allah SAW kepada seluruh umat manusia.

Kewajiban beliau SAW dalam berdakwah tidak pernah kendor sedikitpun, namun beliau SAW juga tetap menyerahkan segala urusannya kepada Allah. Karena Allah juga telah memberitahu kepada beliau SAW yang artinya: “Sesungguhnya engkau (wahai Nabi Muhammad) tidak akan mampu memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allahlah yang akan memberi hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki”.

Sumber : Ustadz Luthfi Basori

Posting Komentar Blogger

Silahkan gunakan bahasa yang baik dan santun dalam berkomentar. Komentar yang profokatif, kasar atau mengandung unsur SARA akan kami hapus. Terima Kasih

 
Top